Happier
“Hai, aku Raga, salam kenal ya.”
---
2014
Semuanya berawal di suatu pagi yang mendung. Waktu yang begitu tepat untuk duduk di sudut sebuah restorant cepat saji untuk minum teh, dan bengong. Iya bengong. Hanya aku dan teh ku beserta tetes-tetes hujan yang mulai turun menabrak kaca jendela di sebelahku. Makin lama makin deras dan itu bagus. Setidaknya aku punya alasan untuk berlama-lama disini.
Memangnya apa lagi yang bisa aku lakukan di hari minggu mendung seperti ini? Dulu, mungkin aku punya banyak rencana. Dulu mungkin banyak hal yang ingin aku lakukan. Karena ada dia. Cih! Kenapa ingat dia? Dia sudah bahagia dengan orang lain kan. Lagipula aku lah yang mengakhiri semuanya. Salahku? Tidak juga.
Ku hirup aroma teh yang lumayan bisa memperbaiki moodku. Meski sebenarnya tidak terlalu banyak membantu juga, sih. Apalagi ada dua sejoli yang tertawa-tawa di meja lain, entah apa yang mereka bicarakan. Aku memalingkan pandanganku dan lebih memilih memperhatikan tetesan hujan yang makin lama semakin berebutan untuk turun. Daripada harus melihat pemandangan yang membuatku iri, lebih baik mencoba berbicara kepada hujan saja.
Tetes-tetes hujan itu, mereka tentu saja tidak mendengar apa yang aku katakan. Membosankan. Tapi tetap saja aku lakukan. Seperti sedang menunggu entah apa. Sampai akhirnya seseorang datang. Seseorang yang setelah ini akan merubah situasi membosankan ini.
“Hai, aku Raga, salam kenal ya.”
Aku diam saja. Cowok itu langsung duduk di hadapanku tanpa meminta ijin. Tersenyum ke arahku. Lalu ikut-ikutan menonton hujan.
“Ngeliatin apaan sih?” tanyanya.
Aku masih diam saja.
“Hujannya ga bakal ngeliatin balik meskipun kamu liatin dia sampe reda juga.”
Aku tetap diam. Lebih tepatnya terpaku. Bingung.
Cowok itu kini memandang ke arahku dengan gemas karena aku tak mengeluarkan sepatah katapun sejak tadi. Lagi pula aku memang sedang dalam mode waspada. Siapa cowok ini? Belum pernah aku ketemu cowok yang aneh begini. Jangan-jangan dia tukang hipnotis.
Cowok itu, ah iya, namanya Raga. Dia tadi memperkenalkan diri tanpa diminta. Raga tiba-tiba bangkit. Aku mulai merasa bersyukur karena akhirnya cowok aneh ini menyerah dan memilih untuk pergi. Dan aku bisa menganggap kejadian tadi tidak pernah terjadi.
Tapi ternyata aku salah. Raga menarik tanganku. Genggamannya kencang, aku yakin lenganku akan memerah setelah ini. Aku berusaha melepaskan diri, tapi Raga punya tenaga yang begitu besar. Aku menunduk sambil terus diseret Raga. Mata semua pengunjung sudah sukses mengarah pada kami dan tinggal selangkah lagi dan ia akan membawaku ke tengah hujan.
“Raga!” Teriakku dengan suara bergetar seperti hampir menangis.
Raga menoleh, lalu melepaskan cengkramannya. Ia melihat mataku yang mulai memerah dan berair.
“Heii, kamu kenapa?” Tanyanya dengan raut wajah khawatir.
Tangannya membingkai wajahku. Dan jelas saja aku mundur. Memangnya siapa cowok ini? Muncul tiba-tiba entah dari mana asalnya. Aku saja belum menyebutkan namaku tapi dia main tarik-tarik aja. Belum lagi gerak-geriknya ini mengisyaratkan seperti dia punya hubungan yang special denganku. Seperti seorang yang sedang menenangkan kekasihnya. Tapi sayang sekali, aku bukan kekasihnya. Dia dan aku, kami hanya dua orang asing yang tak sengaja bertemu.
“Kamu itu siapa sih?” Tanyaku sedikit membentak sambil terus menjaga jarak darinya.
“Aku Raga.” Katanya seolah olah aku sudah mengenalnya sejak lama.
“Raga siapa?” Tanyaku lagi semakin tidak sabar.
“Ragamu.” Ucapnya.
Aku mengerutkan kening, “Ragaku?”
“Iya, Ragamu.”
Oke, aku lagi nggak pengen ada urusan sama orang gila.
“Kamu apaan sih, nggak jelas banget sumpah, cukup ya, mending sekarang kamu pergi deh, aku juga udah mau pulang.”
“Kenapa?” Dia bertanya.
“Denger ya Raga, kamu itu serem.”
“Serem?”
“Iya serem. Kamu bilang kalau kamu itu Ragaku? Raga? Tubuh? Kamu itu tubuhku? Maksudnya kamu jelmaanku yang lain gitu? Atau kalau kamu Ragaku berarti aku apa? Roh gentayangan?”
Raga tertawa keras sekali, “Kamu lucu banget sih.”
Aku menutup wajahku dengan kedua tangan, mulai frustasi dengan keadaan yang ada.
“Aku ga bakal pergi, sebelum kamu bahagia lagi.” Katanya.
Dasar aneh. Memangnya tau apa dia tentang aku? Tau namaku aja nggak. Sungguh hari yang aneh gara-gara orang aneh ini.
“Kamu nggak tau apa-apa tentang aku, aku udah bahagia kok, jadi kamu bisa pergi sekarang.” Ucapku sambil tersenyum, lebih tepatnya senyum palsu, kemudian berlalu melewatinya, lantas berjalan cepat menerobos hujan menuju parkiran. Sebaiknya aku segera pulang sebelum berurusan terlalu lama dengan orang gila ini.
“Atma!” Teriaknya.
Apa katanya tadi?
“Atma!” Teriaknya sekali lagi.
Dia tau namaku. Dan aku menghentikan langkahku tanpa berbalik badan. Aku menunggu apa lagi yang akan dia katakan. Dan disaat yang sama aku mendengar langkah cepat seseorang dibelakangku. Aku tau itu pasti Raga. Dan dia membisikkan sesuatu.
“Atma, laki-laki kayak dia itu nggak pantes buat kamu. Sudah sepantasnya kamu ninggalin dia.”
Aku langsung membalikkan badan, lalu refleks mundur selangkah karena tubuhnya rupanya begitu dekat denganku. Bagaimana dia tau kalau aku baru saja putus?
“Kamu siapa?” tanyaku sekali lagi.
“Aku Raga. Ragamu. Raganya Atma.”
---
Iya. Semuanya berawal dari situ. Raga mendadak sering muncul secara tiba-tiba. Dia pernah muncul tiba-tiba di depan gerbang kampus, di kantin, bahkan dia bisa muncul waktu aku mencari bahan skripsi di perpustakaan. Dia juga pernah muncul saat aku sedang makan bakso di warung Pak Mamat. Lebih anehnya dia selalu muncul saat aku sedang butuh bantuan.
Dia muncul dan membayar seluruh belanjaanku saat dompetku ketinggalan dirumah. Dia muncul saat aku kebingungan mau memesan ojek online karena hpku mati. Dia muncul saat aku sedang butuh orang untuk diajak bicara karena kesal dengan seorang dosen yang menyebalkan. Raga secara tiba-tiba dan tepat sasaran masuk ke kehidupanku semakin dalam. Dia tau semuanya tentangku, tau kisah masa laluku, tau masalah-masalahku. Semakin lama aku merasa kalau kami ada dalam satu frekuensi.
Akhirnya dia menjadi orang yang selalu aku cari pertama kali di segala kondisi. Dia orang yang pertama kali aku hubungi saat aku butuh seseorang. Kemana-mana selalu dengan Raga. Ke toko buku, ke mall, ke bioskop, bahkan ke klinik waktu aku sedang sakit. Waktuku mulai sering kuhabiskan dengannya. Benar-benar dengan Raga. Cuma Raga. Ragaku. Raganya Atma.
Aku sungguh menikmati hari-hariku dengan Raga. Setiap hari rasanya selalu bersemangat. Seolah aku menanti kejutan apa lagi yang akan dibawa Raga. Meski sebenarnya yang dia lakukan itu hanya hal-hal sederhana. Tapi sungguh aku tak butuh lebih lagi. Semakin lama aku jadi merasa kalau akulah pemilik Raga. Raga selalu tau cara untuk membuatku tersenyum. Selalu punya ide-ide gila yang tak pernah ku sangka akan aku lakukan. Seperti waktu itu. Raga bertanya sesuatu padaku.
“Pengen tau nggak rasanya jadi penguasa KFC?”
“Hah? Maksudnya?”
“Pokoknya nanti malam aku jemput.” Begitu katanya suatu siang saat kami sedang makan es krim di depan mini market .
Malam itu Raga datang. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam saat ia menjemputku. Dengan susah payah pula aku minta agar diijinkan keluar malam. Aku dan Raga menuju KFC yang jaraknya sebenarnya hanya 10 menit dari rumahku. Disana sudah sepi. Tapi karena Raga rasanya tempat itu seperti rumah sendiri. Dia membawa kartu remi, kartu uno, dan monopoli. Kami main semalaman bahkan sampai subuh. Aku bahkan sempat ketiduran di bahunya sekitar satu jam sebelum akhirnya Raga membangunkanku dan mengantarku pulang jam 5 pagi. Entah apa alasan yang Raga berikan pada ibuku sehingga aku tidak kena marah sama sekali.
Kadang aku masih suka bertanya,
“Kamu itu sebenernya siapa sih?”
Dan jawabannya selalu sama, “Aku
Raga. Ragamu. Raganya Atma.”
---
Aku terlalu nyaman dengan Raga. Sampai terpikir bagaimana aku kalau tanpa Raga. Aku tanpa Raga sama artinya aku hanya roh gentayangan. Iya kan? Raga adalah rumah. Aku berharap aku selalu bisa pulang padanya.
Raga membuatku merasa seperti insan yang lengkap. Lebih bersemangat. Raga membawa kembali keceriaanku yang sempat menghilang untuk beberapa waktu. Raga membawaku kembali setelah aku sempat hilang dan tersesat. Raga mengisi hari-hariku setelah sebelumnya aku merasa hampa.
Tapi hari itu Raga mengingatkanku sesuatu yang benar-benar aku lupakan. Sesuatu yang aku harap Raga juga lupa.
“Hoe!” Raga menepuk pundakku saat aku sedang menunggunya di samping pos satpam kampus.
“Hai! Yuk berangkat sekarang udah sore nih, ntar kita nggak kebagian tiket nontonnya, kampus juga udah sepi.”
“Hmmmm. Aku boleh ngomong sesuatu nggak?” Tanya Raga.
Sungguh, aku menebak kalau Raga bakalan nembak aku. Kalau emang terjadi gak perlu waktu lama buat aku bilang ‘iya’. Aku juga nyaman sama Raga. Aku mau dia jadi milikku. Ragaku. Raganya Atma.
“Boleh, mau ngomong apa?”
“Jangan disini deh, masa ada satpam gitu,” katanya sambil melirik ke arah satpam yang sedang asyik main mobile legend.
Aku tersenyum menggoda, “Emang kenapa? Rahasia banget ya?”
Raga tak menjawab, dia menarik tanganku ke koridor, sedikit menjauh dari pos satpam. Dia lalu berdiri di belakang sebuah pilar besar, Sedangkan aku bersandar di tembok. Aku menunggunya untuk segera berbicara. Rasanya aku tak sabar untuk bilang ‘iya’
“Kamu bahagia nggak?” tanyanya.
“Iyalah, jauh lebih bahagia dari sebelumnya, kenapa?” jawabku dengan penuh semangat.
“Baguslah, tugasku berarti sudah selesai.” Katanya sambil tersenyum.
Senyum yang hangat, tapi entah mengapa membuat perasaanku jadi tidak enak.
“Tugas?”
“Hayooo lupa, inget nggak waktu kamu suruh aku pergi?”
“Kamu apaan sih, nggak jelas banget sumpah, cukup ya, mending sekarang kamu pergi deh, aku juga udah mau pulang.”
“Aku ga bakal pergi, sebelum kamu bahagia lagi.”
“Nggak, nggak mungkin. Kamu bercanda kan. Emang kamu mau pergi kemana. Masih di bumi kan? Nggak menghilang jadi debu.”
“Ya emang aku nggak hilang jadi debu, tapi aku bakal hilang dari ingatan kamu.”
Aku tertawa, “Apaan sih, ngelawak mas?” Sungguh, perkataannya itu sangat nggak masuk akal.
Wajah Raga kini berubah serius. Perasaanku jadi semakin tidak enak. Dibalik tawaku, aku berusaha menahan air mata yang mulai menerobos keluar. Ini mimpi kan? Lelucon macam apa ini? Sumpah, ini nggak lucu Raga.
“Atma, dengerin aku,” kedua tangannya memegang pundakku, “Kita pasti ketemu lagi, sebenarnya ini bukan saatnya, tapi aku nggak bisa kalau Atmaku sedih. Aku jadi nggak bersemangat lagi, aku seperti kehilangan gairah, aku seperti terluka.”
“Sumpah aku nggak ngerti, kamu bilang kalau kamu Ragaku, dan kamu juga tadi bilang kalau aku Atmamu, harusnya kita sama-sama kan.”
“Atma, aku ngambil kesempatan ini, karena aku tau kamu Atmaku.” Raga mengambil nafas sebelum melanjutkan kata-katanya, “Ini memang salahku. Aku mencoba membuka koneksi dengan orang yang seharusnya baru aku temui di masa depan. Dan saat koneksi itu terbuka ternyata itu berpengaruh terhadap emosiku. Mendadak aku bisa merasakan apa yang kamu rasakan Atma. Rasanya sedih dan perih, tiba-tiba rasanya seperti aku sedang membawa beban berat. Karena koneksi itu kita jadi bisa berbagi perasaan yang sama. Karena aku juga nggak mau aku merasa sedih terus menerus, aku memutuskan untuk mencari tau siapa orang yang terkoneksi denganku.”
Aku terdiam, bingung, Rasanya antara percaya dan tidak. Koneksi? Sungguh, ini lelucon paling nggak lucu.
“Terus gimana akhirnya kamu bisa nemuin aku?”
“Feeling. Pertama kali aku ngeliat kamu, rasanya ada sesuatu yang menarikku untuk mendekat.”
“Raga, aku masih nggak ngerti sama semua ini, dan kalau aku akhirnya lupa tentang kamu, masih ada foto kita” aku menunjukkan lockscreen hp-ku yang menampilkan foto kami berdua, “Dan kalaupun aku lupa, mungkin kamu masih inget dan kamu bisa dateng ke aku jelasin semuanya, dan kita nggak harus tiba-tiba jadi orang asing kan?”
Sungguh, aku masih tak mengerti apa maksudnya? Aku bingung. Sebenarnya apa yang terjadi? Kalau ini mimpi, sungguh aku tak mau bangun. Lebih baik aku hidup di alam mimpiku saja. Karena disini ada Raga.
“Aku nggak tau setelah ini bakalan gimana? Dan hal-hal apa aja yang terpengaruh,” ucap Raga.
Aku diam saja. Tak tau harus bereaksi seperti apa.
“Kita pasti ketemu lagi, kamu harus percaya sama aku,” lanjut Raga.
“Tapi kapan? Aku gak mau ada perpisahan lagi Raga, rasanya sakit, perih, dan aku nggak mau.” Aku mulai terisak.
Raga memperlihatkan sesuatu di balik pergelangan tangannya. Ada sebuah garis hitam disana, yang warnanya sudah pudar.
“Aku udah ga punya banyak waktu Atma, garis ini sebentar lagi akan hilang.”
“Raga, please. Aku pasti bakal sedih lagi.”
Raga menggeleng. “Ini bakalan jadi perpisahan paling nggak menyakitkan,” Katanya.
Nafasku memburu, dan tanda garis hitam di pergelangan tangan Raga juga semakin menghilang. Raga tersenyum, tangannya membelai wajahku, mengusap air mataku. Lalu wajahnya semakin mendekat, membuatku refleks memejamkan mata. Sesuatu yang lembut menyentuh bibirku. Sungguh, aku tak ingin saat ini berakhir. Jantungku mendadak berdetak cepat, rasanya sesak, tapi sesak yang menyenangkan. Dan setelah itu …….
---
Aku membuka mataku. Hari sudah sore, dan entah apa yang aku lakukan disini? Sendirian di koridor kampus. Semua mahasiswa sudah pulang. Aku mulai waspada. Apa aku tadi di hipnotis? Apa ada tukang hipnotis berkeliaran di kampus?
Aku buru-buru mengecek barang-barang bawaanku. Syukur tidak ada yang hilang. Terus, ngapain aku disini? Ah mungkin karena terlalu stress mengerjakan skripsi aku jadi sedikit error. Kampus sudah benar-benar sepi, sebaiknya aku segera pulang.
Dan ini, sejak kapan aku pake foto selfie untuk layar lockscreenku? Narsis sekali.
“Eh, baru pulang mbak? saya kira kampus udah kosong.” tanya satpam saat aku melintas melewati pintu gerbang kampus yang sudah 80% tertutup.
“Ah iya nih, kayaknya saya sedikit lupa waktu saking stressnya ngerjain skripsi.”
Si satpam hanya geleng-geleng kepala melihatku yang seperti orang linglung.
“Mas ada perlu apa?” Tanya pak satpam pada seorang laki-laki yang entah siapa tiba-tiba keluar dari lingkungan kampus. Aku belum pernah melihatnya sebelumnya, sepertinya dia bukan mahasiswa disini.
Laki-laki itu tidak menjawab dan langsung pergi. Dia keliatan sama linglungnya denganku.
Dasar orang aneh. Emh, aku juga aneh sih.
“Siapa tuh mas?” tanyaku ke satpam.
“Kurang tau mbak, orang aneh.”
“Coba cek gih ke dalem kampus, jangan-jangan maling,” kataku sebelum pergi meninggalkan kampus.
---
2018
Tumben banget sih rame gini, biasanya nggak. Untung masih kebagian tempat duduk ini. Pikirku ketika akhirnya mendapatkan kursi di pojok MCD.
Aku sedang banyak kerjaan. Ada dua presentasi yang harus ku kerjakan sebelum manajerku meeting dengan client hari senin nanti. Dan sungguh, suasana tempat ini sekarang sedang tidak mendukung. Wajar sih, sekarang weekend dan jam pulang kerja juga. Tapi ya mau bagaimana, aku butuh wifi. Dan aku juga udah ngidam cheeseburger sejak dua hari yang lalu.
“Sori, boleh duduk disini nggak? Soalnya penuh banget.”
Seseorang bertubuh tegap, berkemeja merah dengan nametag terkalung di lehernya, tas ransel dipunggungnya dan tangan membawa nampan berisi cheeseburger, kentang goreng, dan coke, tiba-tiba ada di depanku.
Aku melihat ke sekeliling dan benar saja, tidak ada kursi kosong lagi selain kursi dihadapanku ini.
“Duduk aja, nggak apa-apa kok,” kataku sambil tersenyum.
Dia tersenyum, menaruh nampannya kemudian melepas dan menyandarkan ranselnya di samping kursi.
“Bawa kerjaan?” tanyanya.
“Eh, iya, lagi pengen cari suasana baru aja ngerjain disini, eh ternyata rame begini,” kataku sembari menutup laptop, dan lebih memilih untuk makan saja.
“Kerja dimana emang?” tanyanya sebelum memasukkan dua kentang goreng sekaligus ke mulutnya.
“Aku di Event Organizer, hehe”
“Waw, biasa ngurusin event-event kayak pembukaan Asian Games dong? Sumpah itu keren banget sih menurutku.”
“Kamu nonton juga? Itu sih beda skala, tapi aku aminin aja deh, hahaha, eh kamu kerja dimana?”
“Aku …”
“Jangan dijawab, keliatan kok dari bajunya,” kataku sambil terkekeh.
Cowok di depanku ikut terkekeh sambil terus makan. Sepertinya dia sedang sangat lapar.
“Eh, wifi di kantor lelet banget tau, gimana nih? Bisa bikin pengaduan ke kamu nggak nih?”
Kami berdua tertawa. “Ya, bisa bisaa.” Begitu katanya.
Obrolan kami berlanjut, dari mulai tentang pembukaan Asian Games, aksi Pak Jokowi naik motor menuju GBK, sampai Jan Ethes cucu pak Presiden yang luar biasa bikin gemes. Bahkan munculnya Ratu dan Raja dari Kerajaan Ubur-ubur pun tak luput dari obrolan hari itu.
“Gila ya, coba deh kamu bayangin tiba-tiba aku bilang ke kamu kalau aku sebenarnya adalah Pangeran Kuda Nil, dan aku harus mencari prajurit-prajuritku kuda delman dan kuda lumping,” aku tertawa demi mendengar leluconnya.
“Berarti aku kuda Pegasus,” kataku sambil tertawa.
“Apaan kuda Pegasus, terus pup-nya pelangi gitu?” ia tertawa.
“Ih, lucu tau Pegasus kan bisa terbang, nggak apa-apa pupnya pelangi kan baguss,” Aku mendebat, tapi tetap tak bisa menghentikan tawaku.
“Eh, bentar-bentar, apa kita pernah ketemu sebelumnya ya?” Tanyaku.
Sungguh, aku merasa aneh. Kami baru bertemu satu jam yang lalu, tapi kenapa bisa seakrab ini begitu cepat?
“Ketemu? Hmm.” Iya menggumam.
“Rasanya kayak udah kenal lama gitu, kayak temen lama yang akhirnya ketemu lagi, ngerasa nggak sih?” ungkapku.
“Iya juga yaa, aku juga ngerasa aneh,” Katanya sambil tersenyum tapi terlihat bingung juga.
“Oh iya, aku Atma.” Kataku sambil menjulurkan tangan ke arahnya.
“Aku Raga.”
TAMAT