Kamu pernah pengen mati nggak?

Senin, 17 Desember 2018

Biar aku tebak.
Tiap orang punya masa-masa dimana dia pengen banget mati. Pengen hilang ingatan. Pengen menghilang dari muka bumi ini. Ya, seandainya thanos beneran ada. Tapi itu juga kalau kamu beruntung karena thanos cuma menghilangkan 50% saja dari total populasi yang ada. Dan bisa saja kamu kurang beruntung dan tidak dihilangkan oleh thanos. Ya, hidup tak pernah sesuai dengan ekspetasi, tapi selalu punya cara untuk membuatnya menjadi menarik.

Dulu aku pernah merasa seolah aku orang paling menderita yang pernah ada. Berpikir kenapa dunia ini tidak adil. Berpikir kalau tidak ada satupun orang yang peduli padaku. Suka dengan hal-hal yang 'gelap'. Suka berandai-andai bisa membunuh orang-orang sialan dengan menuliskan nama mereka di Death Note, seandainya buku itu benar-benar ada. Suka segala sesuatu yang berbau kematian. Suka suasana mendung dan hujan. Suka gelap-gelapan dikamar sambil dengerin lagunya Linkin Park yang judulnya Numb. Terus bisa nangis entah karena apa. Ya semengenaskan itu lah.

Apa kalian juga pernah ada di masa-masa itu?

Padahal, masalah terberat waktu itu apa sih?
Besok ulangan.
PR numpuk.
Galauin cowok orang.
Kena marah ortu karena nilai menurun.
Di hukum guru karena nggak buat PR.
Di tegur guru karena ngantuk pas di kelas.
Bolos.
Korupsi uang buku yang dikasih orang tua.
Bilangnya Les, tapi keluyuran.

Tapi sering tiba-tiba berpikir kalau aku depresi. Stress. Atau apalah semacam itu.
Ah, masa SMPku yang kelabu. Hahahahaha

Setelah aku pikir-pikir, itu tanda-tanda kalau aku lemah. Ya untuk anak berumur 13 tahun, pikiran-pikiran seperti "aku mau bunuh dia" itu bisa muncul dengan mudahnya. Meski tidak pernah benar-benar pengen bunuh sih, cuma mikir doang. Wkwkwkwwk, masih waras lah waktu itu.

Padahal sekarang ini masalah yang harus dipikirkan lebih banyak.
Keluarga.
Kerjaan.
Masa depan.
Uang.
Uang.
Uang.
Uang.
Uang.

Hidup nggak selalu tentang uang sih, tapi segala hal perlu uang.
Enggak semuanya bisa dibeli pake uang, tapi jujur aku ngerasa semua lebih mudah karena aku punya uang. Derajatku seolah-olah naik karena aku bekerja dan aku punya uang.
Aku jadi lebih di dengarkan. Meski sepertinya hanya sekadar di dengarkan kemudian di lupakan.

Syukur-syukur aku udah nggak pengen mati.
Mungkin udah kebal sama kehidupan ya. Toh setiap orang punya masalah mereka masing-masing. Hampir nggak ada yang hidupnya bahagia-bahagia terus. Kalau kata seseorang, seneng sama sedih itu seimbang.
Iya bener. Badai nggak selamanya. Dan pelangi juga cuma muncul sebentar.

Tapi aku suka waktu hujan turun deras sih. Apalagi sambil makan mi kuah.
Huehehehehehe.

Sepeda

Kamis, 23 Agustus 2018

Kring kring kring
Ada sepeda
Sepedaku roda dua
Ku dapat dari ayah
Karena nggak ada yang nganter sekolah (?)

Masih inget banget, dulu waktu SD aku adalah salah satu siswa yang ke sekolah naik sepeda. Dimana cewek-cewek di SD-ku yang ke sekolah naik sepeda itu dikit banget. Dan ya, aku merasa keren sih waktu itu.

Dulu aku naik sepeda ke sekolah bukan tanpa alasan. Tapi karena dirumah cuma ada 1 motor. 1 motor itu dibawa bapak untuk berangkat kerja. Jadi ya begitulah. Aku harus mandiri berangkat ke sekolah naik sepeda.

Aku punya pikiran untuk nulis ini karena baru ngeh ternyata sekarang jarang banget ya anak-anak yang naik sepeda ke sekolah. Yang cowok aja jarang, apalagi cewek. Aku berpikir gimana mereka nggak tau gimana rasanya naik sepeda sambil minum teh sisri yang disedot dari dalam plastik di siang hari yang begitu panas. Seger dan nikmat banget gitu rasanya. Belinya pake sisa uang jajan yang tinggal 500rupiah. Atau bagaimana rasanya pulang saat sedang hujan sampai basah kuyup dan berakhir dimarahi ibu saat sampai dirumah. Sudah basah, kedinginan, kena marah pula. Ya gimana dong, nggak bawa jas ujan, terus mau pake payung juga ribet banget naik sepeda bawa-bawa payung.

Aku masih ingat dulu sepedaku itu sering banget yang namanya rantainya lepas. Iya, sampai aku jadi ahli banget pasang rantai sepeda. Tiap rantai lepas pasti sobek kertas dari buku tulis biar tangan nggak kotor pegang-pegang rantai. Belum lagi masalah rem yang tiba-tiba nggak berfungsi alias blong. Ya, bayangin aja lah lagi jalan turunan mau ngerem tau-tau tetep aja laju sepedanya cepet. Untung nggak nyungsep ke semak-semak.

Dulu sepedaku itu merknya "Aurora" , dah kayak nama princess yaa?
Tapi jangan salah, sepedaku itu bukan yang warna pink terus ada keranjang depannya. Enggak gitu. Sepedaku ya biasa aja kayak sepeda (?) *ngomong apa sih Yuu?
Warnanya aku masih inget banget, warna merah gradasi biru. Terus aku dan sepedaku juga pernah ikut lomba sepeda hias waktu kelas 4 SD kalau nggak salah. Segitu aja tuh udah ngerasa keren banget, soalnya pawai sepeda hiasnya di lapangan puputan bareng temen-temen yang lain yang kepilih.

Apa sih enaknya naik sepeda ke sekolah? Kan capek.
Lebih capek jalan kaki. Dulu kalau sepedaku rusak aku terpaksa ke sekolah jam 6 pagi berangkat bareng sama bapak yang masuk kerjanya shift pagi jam 6 waktu itu. (sekarang bapak ga pernah shift pagi), terus pas pulang jalan kaki sambil minum pop ice.
Jam 6 pagi masih gelap. Kelas juga belum di buka. Jadinya nunggu dibukain pintu dulu sama pak Agung (kayak pesuruh gitu lah dia) orangnya udah tua banget, apa kabar ya pak Agung?

Kadang kalau liat foto-fotoku jaman SD itu suka malu sendiri, soalnya kulitku hitam, kurus (skrg masih kurus sih), pokoknya dekil. Mungkin itu gara-gara dulu sering panas-panasan pas pulang sekolah. Ya gapapa sih, umur segitu mana peduli sama warna kulit.

Ada satu lagi hal lucu pas waktu SD dulu. Jadi di jembatan yang harus aku lewati tiap pulang sekolah itu ada angsa. Angsanya ganas suka ngejar-ngejar. Kalau naik sepeda enak bisa ngebut. Nah pas jalan kaki itu masalahnya. Mesti ngintip-ngintip dulu. Begitu angsanya lengah langsung lari. Udah pernah ada yang jadi korban waktu itu dikejar angsa. Jadi dulu masih banyak yang pulang sekolah jalan kaki atau naik sepeda, malah kayaknya semua yang di perumahanku, cewek-cowok, kelas 1 sampai kelas 6, dari berbagai SD, nggak peduli anak orang kaya ataupun dari keluarga yang biasa biasa aja jarang ada yang dijemput. Kecuali mungkin kalau lagi sakit.

Kalau dipikir-pikir dulu strong juga ya aku. Kok sekarang makin nggak bertenaga? Apa gara-gara kebanyakan mikir. Ternyata mikir membutuhkan banyak energi juga ya.

Btw, budaya naik sepeda ke sekolah sepertinya harus dilestarikan lagi (halah!)
Tapi sebenernya agak ngeri juga di jaman sekarang, soalnya tingkat kejahatan mulai tinggi, jadi resiko anak-anak SD diculik juga pasti ada.
Meski aku tetep pengen adik laki-lakiku yang sekarang masih kelas 1 SD itu bisa naik sepeda ke sekolah nantinya waktu kelas 4 atau 5 SD. Biar dia bisa jadi anak yang mandiri dan strong. Dan pasti juga temen-temennya nganggep dia keren.

Kesimpulan dari postingan ini apa?
Aku kepikiran nulis ini karena barusan lewat di depan SD dan aku liat parkiran sepedanya cuma terpakir 5-8 sepeda. Dan setelah aku inget-inget dulu parkiran sepeda di SD-ku sampe full, bahkan kadang nggak bisa parkir sampai ada yang maksain parkir terus nyenggol sepeda lain dan brak! Jatuh semua sepedanya.

Waktu berlalu, banyak banget hal yang berubah. Dan akhirnya yang tersisa cuma 'kenangan'.

Happier

Rabu, 22 Agustus 2018


Happier

“Hai, aku Raga, salam kenal ya.”

---
2014

Semuanya berawal di suatu pagi yang mendung. Waktu yang begitu tepat untuk duduk di sudut sebuah restorant cepat saji untuk minum teh, dan bengong. Iya bengong. Hanya aku dan teh ku beserta tetes-tetes hujan yang mulai turun menabrak kaca jendela di sebelahku. Makin lama makin deras dan itu bagus. Setidaknya aku punya alasan untuk berlama-lama disini.

Memangnya apa lagi yang bisa aku lakukan di hari minggu mendung seperti ini? Dulu, mungkin aku punya banyak rencana. Dulu mungkin banyak hal yang ingin aku lakukan. Karena ada dia. Cih! Kenapa ingat dia? Dia sudah bahagia dengan orang lain kan. Lagipula aku lah yang mengakhiri semuanya. Salahku? Tidak juga.

Ku hirup aroma teh yang lumayan bisa memperbaiki moodku. Meski sebenarnya tidak terlalu banyak membantu juga, sih. Apalagi ada dua sejoli yang tertawa-tawa di meja lain, entah apa yang mereka bicarakan. Aku memalingkan pandanganku dan lebih memilih memperhatikan tetesan hujan yang makin lama semakin berebutan untuk turun. Daripada harus melihat pemandangan yang membuatku iri, lebih baik mencoba berbicara kepada hujan saja.

Tetes-tetes hujan itu, mereka tentu saja tidak mendengar apa yang aku katakan. Membosankan. Tapi tetap saja aku lakukan. Seperti sedang menunggu entah apa. Sampai akhirnya seseorang datang. Seseorang yang setelah ini akan merubah situasi membosankan ini.

“Hai, aku Raga, salam kenal ya.”

Aku diam saja. Cowok itu langsung duduk di hadapanku tanpa meminta ijin. Tersenyum ke arahku. Lalu ikut-ikutan menonton hujan.

“Ngeliatin apaan sih?” tanyanya.

Aku masih diam saja.

“Hujannya ga bakal ngeliatin balik meskipun kamu liatin dia sampe reda juga.”

Aku tetap diam. Lebih tepatnya terpaku. Bingung.

Cowok itu kini memandang ke arahku dengan gemas karena aku tak mengeluarkan sepatah katapun sejak tadi. Lagi pula aku memang sedang dalam mode waspada. Siapa cowok ini? Belum pernah aku ketemu cowok yang aneh begini. Jangan-jangan dia tukang hipnotis.

Cowok itu, ah iya, namanya Raga. Dia tadi memperkenalkan diri tanpa diminta. Raga tiba-tiba bangkit. Aku mulai merasa bersyukur karena akhirnya cowok aneh ini menyerah dan memilih untuk pergi. Dan aku bisa menganggap kejadian tadi tidak pernah terjadi.

Tapi ternyata aku salah. Raga menarik tanganku. Genggamannya kencang, aku yakin lenganku akan memerah setelah ini. Aku berusaha melepaskan diri, tapi Raga punya tenaga yang begitu besar. Aku menunduk sambil terus diseret Raga. Mata semua pengunjung sudah sukses mengarah pada kami dan tinggal selangkah lagi dan ia akan membawaku ke tengah hujan.

“Raga!” Teriakku dengan suara bergetar seperti hampir menangis.

Raga menoleh, lalu melepaskan cengkramannya. Ia melihat mataku yang mulai memerah dan berair.

“Heii, kamu kenapa?” Tanyanya dengan raut wajah khawatir.

Tangannya membingkai wajahku. Dan jelas saja aku mundur. Memangnya siapa cowok ini? Muncul tiba-tiba entah dari mana asalnya. Aku saja belum menyebutkan namaku tapi dia main tarik-tarik aja. Belum lagi gerak-geriknya ini mengisyaratkan seperti dia punya hubungan yang special denganku. Seperti seorang yang sedang menenangkan kekasihnya. Tapi sayang sekali, aku bukan kekasihnya. Dia dan aku, kami hanya dua orang asing yang tak sengaja bertemu.

“Kamu itu siapa sih?” Tanyaku sedikit membentak sambil terus menjaga jarak darinya.
“Aku Raga.” Katanya seolah olah aku sudah mengenalnya sejak lama.
“Raga siapa?” Tanyaku lagi semakin tidak sabar.
“Ragamu.” Ucapnya.
Aku mengerutkan kening, “Ragaku?”
“Iya, Ragamu.”

Oke, aku lagi nggak pengen ada urusan sama orang gila.

“Kamu apaan sih, nggak jelas banget sumpah, cukup ya, mending sekarang kamu pergi deh, aku juga udah mau pulang.”
“Kenapa?” Dia bertanya.
“Denger ya Raga, kamu itu serem.”
“Serem?”
“Iya serem. Kamu bilang kalau kamu itu Ragaku? Raga? Tubuh? Kamu itu tubuhku? Maksudnya kamu jelmaanku yang lain gitu? Atau kalau kamu Ragaku berarti aku apa? Roh gentayangan?”

Raga tertawa keras sekali, “Kamu lucu banget sih.”

Aku menutup wajahku dengan kedua tangan, mulai frustasi dengan keadaan yang ada.

“Aku ga bakal pergi, sebelum kamu bahagia lagi.” Katanya.

Dasar aneh. Memangnya tau apa dia tentang aku? Tau namaku aja nggak. Sungguh hari yang aneh gara-gara orang aneh ini.

“Kamu nggak tau apa-apa tentang aku, aku udah bahagia kok, jadi kamu bisa pergi sekarang.” Ucapku sambil tersenyum, lebih tepatnya senyum palsu, kemudian berlalu melewatinya, lantas berjalan cepat menerobos hujan menuju parkiran. Sebaiknya aku segera pulang sebelum berurusan terlalu lama dengan orang gila ini.

“Atma!” Teriaknya.

Apa katanya tadi?

“Atma!” Teriaknya sekali lagi.

Dia tau namaku. Dan aku menghentikan langkahku tanpa berbalik badan. Aku menunggu apa lagi yang akan dia katakan. Dan disaat yang sama aku mendengar langkah cepat seseorang dibelakangku. Aku tau itu pasti Raga. Dan dia membisikkan sesuatu.

“Atma, laki-laki kayak dia itu nggak pantes buat kamu. Sudah sepantasnya kamu ninggalin dia.”

Aku langsung membalikkan badan, lalu refleks mundur selangkah karena tubuhnya rupanya begitu dekat denganku. Bagaimana dia tau kalau aku baru saja putus?

“Kamu siapa?” tanyaku sekali lagi.

“Aku Raga. Ragamu. Raganya Atma.”

---



Iya. Semuanya berawal dari situ. Raga mendadak sering muncul secara tiba-tiba. Dia pernah muncul tiba-tiba di depan gerbang kampus, di kantin, bahkan dia bisa muncul waktu aku mencari bahan skripsi di perpustakaan. Dia juga pernah muncul saat aku sedang makan bakso di warung Pak Mamat. Lebih anehnya dia selalu muncul saat aku sedang butuh bantuan.

Dia muncul dan membayar seluruh belanjaanku saat dompetku ketinggalan dirumah. Dia muncul saat aku kebingungan mau memesan ojek online karena hpku mati. Dia muncul saat aku sedang butuh orang untuk diajak bicara karena kesal dengan seorang dosen yang menyebalkan. Raga secara tiba-tiba dan tepat sasaran masuk ke kehidupanku semakin dalam. Dia tau semuanya tentangku, tau kisah masa laluku, tau masalah-masalahku. Semakin lama aku merasa kalau kami ada dalam satu frekuensi.

Akhirnya dia menjadi orang yang selalu aku cari pertama kali di segala kondisi. Dia orang yang pertama kali aku hubungi saat aku butuh seseorang. Kemana-mana selalu dengan Raga. Ke toko buku, ke mall, ke bioskop, bahkan ke klinik waktu aku sedang sakit. Waktuku mulai sering kuhabiskan dengannya. Benar-benar dengan Raga. Cuma Raga. Ragaku. Raganya Atma.

Aku sungguh menikmati hari-hariku dengan Raga. Setiap hari rasanya selalu bersemangat. Seolah aku menanti kejutan apa lagi yang akan dibawa Raga. Meski sebenarnya yang dia lakukan itu hanya hal-hal sederhana. Tapi sungguh aku tak butuh lebih lagi. Semakin lama aku jadi merasa kalau akulah pemilik Raga. Raga selalu tau cara untuk membuatku tersenyum. Selalu punya ide-ide gila yang tak pernah ku sangka akan aku lakukan. Seperti waktu itu. Raga bertanya sesuatu padaku.

“Pengen tau nggak rasanya jadi penguasa KFC?”
“Hah? Maksudnya?”
“Pokoknya nanti malam aku jemput.” Begitu katanya suatu siang saat kami sedang makan es krim di depan mini market .

Malam itu Raga datang. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam saat ia menjemputku. Dengan susah payah pula aku minta agar diijinkan keluar malam. Aku dan Raga menuju KFC yang jaraknya sebenarnya hanya 10 menit dari rumahku. Disana sudah sepi. Tapi karena Raga rasanya tempat itu seperti rumah sendiri. Dia membawa kartu remi, kartu uno, dan monopoli. Kami main semalaman bahkan sampai subuh. Aku bahkan sempat ketiduran di bahunya sekitar satu jam sebelum akhirnya Raga membangunkanku dan mengantarku pulang jam 5 pagi. Entah apa alasan yang Raga berikan pada ibuku sehingga aku tidak kena marah sama sekali.

Kadang aku masih suka bertanya, “Kamu itu sebenernya siapa sih?”
Dan jawabannya selalu sama, “Aku Raga. Ragamu. Raganya Atma.”
---

Aku terlalu nyaman dengan Raga. Sampai terpikir bagaimana aku kalau tanpa Raga. Aku tanpa Raga sama artinya aku hanya roh gentayangan. Iya kan? Raga adalah rumah. Aku berharap aku selalu bisa pulang padanya.

Raga membuatku merasa seperti insan yang lengkap. Lebih bersemangat. Raga membawa kembali keceriaanku yang sempat menghilang untuk beberapa waktu. Raga membawaku kembali setelah aku sempat hilang dan tersesat. Raga mengisi hari-hariku setelah sebelumnya aku merasa hampa.

Tapi hari itu Raga mengingatkanku sesuatu yang benar-benar aku lupakan. Sesuatu yang aku harap Raga juga lupa.

“Hoe!” Raga menepuk pundakku saat aku sedang menunggunya di samping pos satpam kampus.
“Hai! Yuk berangkat sekarang udah sore nih, ntar kita nggak kebagian tiket nontonnya, kampus juga udah sepi.”
“Hmmmm. Aku boleh ngomong sesuatu nggak?” Tanya Raga.

Sungguh, aku menebak kalau Raga bakalan nembak aku. Kalau emang terjadi gak perlu waktu lama buat aku bilang ‘iya’. Aku juga nyaman sama Raga. Aku mau dia jadi milikku. Ragaku. Raganya Atma.

“Boleh, mau ngomong apa?”
“Jangan disini deh, masa ada satpam gitu,” katanya sambil melirik ke arah satpam yang sedang asyik main mobile legend.
Aku tersenyum menggoda, “Emang kenapa? Rahasia banget ya?”

Raga tak menjawab, dia menarik tanganku ke koridor, sedikit menjauh dari pos satpam. Dia lalu berdiri di belakang sebuah pilar besar, Sedangkan aku bersandar di tembok. Aku menunggunya untuk segera berbicara. Rasanya aku tak sabar untuk bilang ‘iya’

“Kamu bahagia nggak?” tanyanya.
“Iyalah, jauh lebih bahagia dari sebelumnya, kenapa?” jawabku dengan penuh semangat.
“Baguslah, tugasku berarti sudah selesai.” Katanya sambil tersenyum.

Senyum yang hangat, tapi entah mengapa membuat perasaanku jadi tidak enak.

“Tugas?”
“Hayooo lupa, inget nggak waktu kamu suruh aku pergi?”

“Kamu apaan sih, nggak jelas banget sumpah, cukup ya, mending sekarang kamu pergi deh, aku juga udah mau pulang.”
“Aku ga bakal pergi, sebelum kamu bahagia lagi.”


“Nggak, nggak mungkin. Kamu bercanda kan. Emang kamu mau pergi kemana. Masih di bumi kan? Nggak menghilang jadi debu.”
“Ya emang aku nggak hilang jadi debu, tapi aku bakal hilang dari ingatan kamu.”
Aku tertawa, “Apaan sih, ngelawak mas?” Sungguh, perkataannya itu sangat nggak masuk akal.

Wajah Raga kini berubah serius. Perasaanku jadi semakin tidak enak. Dibalik tawaku, aku berusaha menahan air mata yang mulai menerobos keluar. Ini mimpi kan? Lelucon macam apa ini? Sumpah, ini nggak lucu Raga.

“Atma, dengerin aku,” kedua tangannya memegang pundakku, “Kita pasti ketemu lagi, sebenarnya ini bukan saatnya, tapi aku nggak bisa kalau Atmaku sedih. Aku jadi nggak bersemangat lagi, aku seperti kehilangan gairah, aku seperti terluka.”

“Sumpah aku nggak ngerti, kamu bilang kalau kamu Ragaku, dan kamu juga tadi bilang kalau aku Atmamu, harusnya kita sama-sama kan.”

“Atma, aku ngambil kesempatan ini, karena aku tau kamu Atmaku.” Raga mengambil nafas sebelum melanjutkan kata-katanya, “Ini memang salahku. Aku mencoba membuka koneksi dengan orang yang seharusnya baru aku temui di masa depan. Dan saat koneksi itu terbuka ternyata itu berpengaruh terhadap emosiku. Mendadak aku bisa merasakan apa yang kamu rasakan Atma. Rasanya sedih dan perih, tiba-tiba rasanya seperti aku sedang membawa beban berat. Karena koneksi itu kita jadi bisa berbagi perasaan yang sama. Karena aku juga nggak mau aku merasa sedih terus menerus, aku memutuskan untuk mencari tau siapa orang yang terkoneksi denganku.”

Aku terdiam, bingung, Rasanya antara percaya dan tidak. Koneksi? Sungguh, ini lelucon paling nggak lucu.

“Terus gimana akhirnya kamu bisa nemuin aku?”
“Feeling. Pertama kali aku ngeliat kamu, rasanya ada sesuatu yang menarikku untuk mendekat.”
“Raga, aku masih nggak ngerti sama semua ini, dan kalau aku akhirnya lupa tentang kamu, masih ada foto kita” aku menunjukkan lockscreen hp-ku yang menampilkan foto kami berdua, “Dan kalaupun aku lupa, mungkin kamu masih inget dan kamu bisa dateng ke aku jelasin semuanya, dan kita nggak harus tiba-tiba jadi orang asing kan?”

Sungguh, aku masih tak mengerti apa maksudnya? Aku bingung. Sebenarnya apa yang terjadi? Kalau ini mimpi, sungguh aku tak mau bangun. Lebih baik aku hidup di alam mimpiku saja. Karena disini ada Raga.

“Aku nggak tau setelah ini bakalan gimana? Dan hal-hal apa aja yang terpengaruh,” ucap Raga.

Aku diam saja. Tak tau harus bereaksi seperti apa.

“Kita pasti ketemu lagi, kamu harus percaya sama aku,” lanjut Raga.
“Tapi kapan? Aku gak mau ada perpisahan lagi Raga, rasanya sakit, perih, dan aku nggak mau.” Aku mulai terisak.
Raga memperlihatkan sesuatu di balik pergelangan tangannya. Ada sebuah garis hitam disana, yang warnanya sudah pudar.
“Aku udah ga punya banyak waktu Atma, garis ini sebentar lagi akan hilang.”
“Raga, please. Aku pasti bakal sedih lagi.”
Raga menggeleng. “Ini bakalan jadi perpisahan paling nggak menyakitkan,” Katanya.

Nafasku memburu, dan tanda garis hitam di pergelangan tangan Raga juga semakin menghilang. Raga tersenyum, tangannya membelai wajahku, mengusap air mataku. Lalu wajahnya semakin mendekat, membuatku refleks memejamkan mata. Sesuatu yang lembut menyentuh bibirku. Sungguh, aku tak ingin saat ini berakhir. Jantungku mendadak berdetak cepat, rasanya sesak, tapi sesak yang menyenangkan. Dan setelah itu …….

---

Aku membuka mataku. Hari sudah sore, dan entah apa yang aku lakukan disini? Sendirian di koridor kampus. Semua mahasiswa sudah pulang. Aku mulai waspada. Apa aku tadi di hipnotis? Apa ada tukang hipnotis berkeliaran di kampus?

Aku buru-buru mengecek barang-barang bawaanku. Syukur tidak ada yang hilang. Terus, ngapain aku disini? Ah mungkin karena terlalu stress mengerjakan skripsi aku jadi sedikit error. Kampus sudah benar-benar sepi, sebaiknya aku segera pulang.
Dan ini, sejak kapan aku pake foto selfie untuk layar lockscreenku? Narsis sekali.

“Eh, baru pulang mbak? saya kira kampus udah kosong.” tanya satpam saat aku melintas melewati pintu gerbang kampus yang sudah 80% tertutup.
“Ah iya nih, kayaknya saya sedikit lupa waktu saking stressnya ngerjain skripsi.”
Si satpam hanya geleng-geleng kepala melihatku yang seperti orang linglung.

“Mas ada perlu apa?” Tanya pak satpam pada seorang laki-laki yang entah siapa tiba-tiba keluar dari lingkungan kampus. Aku belum pernah melihatnya sebelumnya, sepertinya dia bukan mahasiswa disini.
Laki-laki itu tidak menjawab dan langsung pergi. Dia keliatan sama linglungnya denganku.
Dasar orang aneh. Emh, aku juga aneh sih.

“Siapa tuh mas?” tanyaku ke satpam.
“Kurang tau mbak, orang aneh.”
“Coba cek gih ke dalem kampus, jangan-jangan maling,” kataku sebelum pergi meninggalkan kampus.

---

2018

Tumben banget sih rame gini, biasanya nggak. Untung masih kebagian tempat duduk ini. Pikirku ketika akhirnya mendapatkan kursi di pojok MCD.

Aku sedang banyak kerjaan. Ada dua presentasi yang harus ku kerjakan sebelum manajerku meeting dengan client hari senin nanti. Dan sungguh, suasana tempat ini sekarang sedang tidak mendukung. Wajar sih, sekarang weekend dan jam pulang kerja juga. Tapi ya mau bagaimana, aku butuh wifi. Dan aku juga udah ngidam cheeseburger sejak dua hari yang lalu.

“Sori, boleh duduk disini nggak? Soalnya penuh banget.”

Seseorang bertubuh tegap, berkemeja merah dengan nametag terkalung di lehernya, tas ransel dipunggungnya dan tangan membawa nampan berisi cheeseburger, kentang goreng, dan coke, tiba-tiba ada di depanku.

Aku melihat ke sekeliling dan benar saja, tidak ada kursi kosong lagi selain kursi dihadapanku ini.

“Duduk aja, nggak apa-apa kok,” kataku sambil tersenyum.
Dia tersenyum, menaruh nampannya kemudian melepas dan menyandarkan ranselnya di samping kursi.
“Bawa kerjaan?” tanyanya.
“Eh, iya, lagi pengen cari suasana baru aja ngerjain disini, eh ternyata rame begini,” kataku sembari menutup laptop, dan lebih memilih untuk makan saja.
“Kerja dimana emang?” tanyanya sebelum memasukkan dua kentang goreng sekaligus ke mulutnya.
“Aku di Event Organizer, hehe”
“Waw, biasa ngurusin event-event kayak pembukaan Asian Games dong? Sumpah itu keren banget sih menurutku.”
“Kamu nonton juga? Itu sih beda skala, tapi aku aminin aja deh, hahaha, eh kamu kerja dimana?”
“Aku …”
“Jangan dijawab, keliatan kok dari bajunya,” kataku sambil terkekeh.
Cowok di depanku ikut terkekeh sambil terus makan. Sepertinya dia sedang sangat lapar.
“Eh, wifi di kantor lelet banget tau, gimana nih? Bisa bikin pengaduan ke kamu nggak nih?”
Kami berdua tertawa. “Ya, bisa bisaa.” Begitu katanya.

Obrolan kami berlanjut, dari mulai tentang pembukaan Asian Games, aksi Pak Jokowi naik motor menuju GBK, sampai Jan Ethes cucu pak Presiden yang luar biasa bikin gemes. Bahkan munculnya Ratu dan Raja dari Kerajaan Ubur-ubur pun tak luput dari obrolan hari itu.

“Gila ya, coba deh kamu bayangin tiba-tiba aku bilang ke kamu kalau aku sebenarnya adalah Pangeran Kuda Nil, dan aku harus mencari prajurit-prajuritku kuda delman dan kuda lumping,” aku tertawa demi mendengar leluconnya.
“Berarti aku kuda Pegasus,” kataku sambil tertawa.
“Apaan kuda Pegasus, terus pup-nya pelangi gitu?” ia tertawa.
“Ih, lucu tau Pegasus kan bisa terbang, nggak apa-apa pupnya pelangi kan baguss,” Aku mendebat, tapi tetap tak bisa menghentikan tawaku.

“Eh, bentar-bentar, apa kita pernah ketemu sebelumnya ya?” Tanyaku.
Sungguh, aku merasa aneh. Kami baru bertemu satu jam yang lalu, tapi kenapa bisa seakrab ini begitu cepat?
“Ketemu? Hmm.” Iya menggumam.
“Rasanya kayak udah kenal lama gitu, kayak temen lama yang akhirnya ketemu lagi, ngerasa nggak sih?” ungkapku.
“Iya juga yaa, aku juga ngerasa aneh,” Katanya sambil tersenyum tapi terlihat bingung juga.

“Oh iya, aku Atma.” Kataku sambil menjulurkan tangan ke arahnya.
“Aku Raga.”


TAMAT

Kalian sebenarnya siapa?

Selasa, 07 Agustus 2018

Macet.
Ramai.
Banyak orang.
Kalian siapa?

Waktu itu, sore-sore, jam pulang kantor, dan jam pulang sekolah buat yang sekolah siang atau yang ada pemsor di sekolahnya. Biasanya jam-jam segitu memang ramai dan macet. Pun sebenarnya aku sudah terbiasa dengan hal itu. Tapi sore itu pikiranku rupanya lebih aktif dari biasanya. Dan kira-kira seperti inilah yang aku pikirkan.

Dari sekian banyak orang yang terjebak macet, dan dari sekian banyak orang yang lewat,ada pekerja kantoran, pegawai negri, guru, murid SMP, murid SMA, ibu-ibu, bapak-bapak, dan aku tidak mengenal siapapun diantara mereka. Tapi mereka disini. Kira-kira siapa saja mereka? Bagaimana kehidupan mereka? Dan apa yang mereka pikirkan ketika melihatku? Dan dari semuanya, apa cuma aku yang terlalu memikirkan ini?

Aku mulai sadar tentang beberapa hal, seperti misalnya :

"Manusia ada banyak banget ya, dan sekarang coba bayangin di tempat yang ramai dan macet gini aku udah liat berapa wajah dalam sehari? Ratusan? Atau bahkan seribu lebih? Terus sejak aku lahir aku udah melewati berapa hari? 8.000 hari bahkan lebih dan terus bertambah, anggap aku ketemu 500 orang perhari entah itu di jalan, di mini market, di bioskop, di taman kota waktu aku lari pagi, di tempat makan, dan lain-lain berarti aku udah ketemu kira-kira 4 JUTA orang selama hidupku. Dan menurut Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, yang diupdate terakhir itu Februari 2018, jumlah penduduk di provinsi Bali itu totalnya 3.890.757, berarti ada orang yang paling nggak pernah ketemu dua kali sama aku. Atau bahkan lebih. Ya, memang sih kan yang di bali nggak cuma orang bali aja, ada bule juga. Tapi ya tetep kan, masih banyak orang-orang dari daerah yang belum pernah aku kunjungi belum pernah ke Denpasar. Dan aku juga belum berpetualang keliling pulau Bali."

Jadi anggaplah aku ambil kesimpulan kalau setidaknya dari semua orang yang nggak aku kenal itu ada yang pernah ketemu aku lebih dari satu kali. Tapi anehnya aku ngerasa kayak aku ketemu orang yang berbeda terus setiap hari nya. Keterbatasan ingatan manusia kah?

Hmm, coba pikirkan lagi. Aku berangkat ke kantor setiap jam 07.30 , dan bisa dibilang dalam beberapa kali aku lewat di jalan yang sama dalam waktu yang sama seperti sebelumnya. Dan bisa dibilang juga aku berhenti di lampu merah yang sama di waktu yang sama dengan kemarin, kemarin lusa, atau minggu lalu (Demi ini aku suka ngecek jam di hp pas nyampe di lampu merah) Tapi kenapa seolah aku sama sekali tidak pernah menemukan orang yang sama seperti sebelumnya. Semuanya berbeda. Selalu, berganti, setiap hari. Masa sih nggak ada satupun yang hidupnya rutin kayak tiba di lampu merah yang sama dan di waktu yang sama seperti sebelumnya.

Hmmmm, bagiku ini sangat menarik.

Bagaimana kalau ternyata cuma aku yang hidup setiap hari sedangkan orang-orang ini, orang-orang tak dikenal yang aku temui ini hanya sekedar menghiasi kehidupanku saja agar hidupku jadi lebih ........ hidup?
Karena kalau duniaku hanya diisi oleh orang-orang yang aku kenal saja pasti akan sepi banget. Apalagi Tuhan menciptakan bumi yang seluas dan sebesar ini.

Bagaimana kalau mereka semua ini adalah NPC (Non Player Character), dan baru aktif ketika aku mengenal mereka. Kayak kisah mereka dari awal sampai hari ketika kami kenal itu baru terbentuk, atau justru kehidupannya baru terbentuk saat aku bertanya tentang hidup mereka. Atau ... atauu .....

Hahahahahahaha
Udah, jangan ikut bingung
Aku cuma kebanyakan bengong aja
Jadinya agak-agak ....
Gila.

Kita semua berbohong

Selasa, 19 Juni 2018

Pernah nggak sih kalian dibohongin, atau pernah nggak sih kalian berbohong sama seseorang entah itu orang tua, teman, atau pacar kalian.
Mungkin ada yang nggak pernah. Mungkin.
Kalau aku? Jelas, pernah.

Satu alasan yang pasti kenapa berbohong itu dilakukan adalah karena ada sesuatu yang harus disembunyikan. Kenapa harus disembunyikan? Nah itu, ada banyak alasan.
Bisa jadi karena tidak ingin menyakiti hati seseorang, karena malu, karena ingin mendapatkan keuntungan, karena ingin dianggap hebat, atau karena takut.

Aku beberapa kali berbohong pada orang tuaku, tentang harga barang mahal yang aku beli (ya, mereka akan marah kalau misalkan aku mengeluarkan uang lebih hanya untuk sebuah barang yang sebenarnya bisa saja aku dapatkan dengan harga dibawah itu, tapi karena itu sesuatu yang bisa dibilang eksklusif jadi ya aku beli deh, hehehehe), aku juga pernah berbohong kenapa aku pulang larut, kenapa aku begadang, kenapa aku pulang telat saat sekolah dulu, dan masih banyak lagi. Kadang aku juga membantu adikku berbohong tentang nilai-nilai sekolahnya. Oh Tuhan 😢
Kalau dipikir-pikir kenapa aku berbohong? Kenapa kami (aku dan adikku) berbohong? Alasannya satu, karena TAKUT. Kami takut mereka marah, kami takut mereka kecewa, kami takut mereka tidak terima, kami takut mereka mendiamkan kami, kami takut.

Bukannya aku tak pernah mencoba untuk jujur akan hal-hal tersebut, hanya saja suatu ketika aku memutuskan untuk jujur mengatakan apa yang aku kerjakan, apa yang aku alami, dan yang terjadi adalah segala ketakutanku itu menjadi nyata. Apakah aku menyesal kemudian? Awalnya iya, rasanya sebaiknya aku berbohong saja. Berbohong untuk menyelamatkanku, menyelamatkan perasaan mereka juga, tapi aku tau kebohongan tidak akan pernah bisa bertahan selamanya. Tapi setelah aku pikir lagi, jujur itu tidak salah.
Memang, aku tak berbohong lagi tentang beberapa hal. Hanya saja kebohongan itu sudah berubah menjadi sesuatu yang lain yaitu rahasia. Hahahahaha, apa bedanya?

Aku memang berbohong, dan akupun juga dibohongi. Dan alasannya sama, mereka membohongiku karena mereka takut. Takut aku marah, takut aku sedih, takut aku kecewa. Kenapa? Kenapa takut? Aku mengerti, aku pun sama, aku pun takut.
Mungkin suatu saat aku bisa saja meledak (ya, aku kan seperti bom waktu). Tapi setidaknya ledakannya tidak besar dibanding sudah kecewa ditambah lagi dibohongi.

Aku bukan monster.
Mungkin aku akan marah, mungkin aku akan kecewa, mungkin juga aku akan sedih. Tapi lebih baik aku merasakan emosi itu karena mendengar sebuah kejujuran, daripada aku merasakannya karena aku dibohongi.

Oke, setelah aku menulis 400 lebih kata dalam post ini. Kesimpulannya apa?
Apakah aku berhenti berbohong? Apakah aku akan jujur sepanjang waktu? Hahahaha, tentu saja tidak. Aku akan menguranginya, tapi aku tak yakin bisa benar-benar menghentikannya. Karena kadang, aku melakukannya tanpa sadar.

Lalu, apa yang ingin aku sampaikan? Apa yang aku harapkan?
Jadi begini, aku berharap orang tidak berbohong karena mereka takut. Terutama kepadaku.
Tapi aku tak bisa memaksa, mungkin saat ini, besok, lusa, minggu depan, atau suatu hari nanti aku akan tetap dibohongi entah oleh siapa. Karena aku pun masih belum mampu untuk tidak berbohong sama sekali. Tapi kuharap alasannya bukan karena takut.

Jangan takut.
Dunia masih berputar, aku akan tetap bernafas, begitu juga kamu, kalian.
Jujur saja, dan sebisa mungkin aku juga akan jujur. Setidaknya kita semua sama-sama berusaha.
😇

Bom Waktu

Minggu, 17 Juni 2018

Bom Waktu
Aku seperti bom waktu. Bisa diam untuk waktu yang lama. Tidak tau kapan akan meledak. Sering terjadi dulunya. Bisa jadi itu juga yang membuatku kehilangan beberapa hal, beberapa orang. Atau bukan aku yang kehilangan mereka tapi mereka yang kehilanganku. Entahlah.

Terbiasa pura-pura nggak peduli. Terbiasa marah, diam, lalu lupa. Padahal dalam hati tak benar-benar lupa. Sampai di satu titik, aku tak tahan. Lalu memilih pergi. Ketika aku pergi, mereka kaget. Tapi ya begitulah. Aku bahkan kaget dengan apa yang aku alami. Waktu itu aku menahannya bertahun-tahun, dan lalu suatu hari boom! Aku meledak, dan pergi.

Aku pernah pergi dari kelompok pertemananku. Alasannya? Aku tak nyaman dengan mereka. Aku diam,  tak mengungkapkannya pada mereka, karena aku rasa tak ada gunanya juga berbicara. Memang,, terkadang aku masih ikut bersenda gurau dengan mereka, tapi di sisi lain aku tak benar-benar masih ada bersama mereka. Aku menghilang pelan tapi pasti, sampai akhirnya benar-benar tak mengobrol lagi dengan mereka. Aku akhirnya membentuk kelompok pertemananku yang baru. Tak terlalu dekat memang, tapi semuanya berjalan baik sampai aku lulus.

Aku pernah pergi dari orang yang aku anggap berarti selama bertahun-tahun. Awalnya aku diam, berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa semuanya baik-baik saja. Berusaha menumbuhkan perasaan positif. Tapi ternyata, memang seharusnya aku meledak lebih awal. Aku terlambat meledak. Atau seharusnya aku tak meledak? Tapi aku meledak. Dan itulah yang seharusnya terjadi sebelum ledakanku membahayakan orang lain juga.

Aku tau ini berbahaya. Efeknya tidak berhenti hanya dengan aku pergi. Entah efek ledaknya yang berbahaya? Atau justru aku yang berbahaya.
Atau aku membahayakan untuk diriku sendiri?

Aku seperti bom waktu.
Tak tau kapan meledak.
Berhati-hatilah.
Biar aku saja yang terluka.
Aku tak mau menambah beban dengan melukaimu juga.
Biarkan aku sendirian,karena aku tak tau kapan aku meledak.

Hahahahahahaha
Aku bercanda,
Aku baik-baik saja, kok.
 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS